Satu menit yang lalu debu terbang diserambi istana, asik bermain dengan panasnya udara, sebentar diam sebentar melayang, serupa buih didataran laut, seribu kawan beramai-ramai dengan bergandeng tangan, saling berteriak suka kadang tertawa, berayun merangkak ditembok-tembok kota, tiba merasa sedih, melihat temanya terjatuh dengan luka, tak bisa bergerak karena lengket tertindih disibak hujan. Dust mengajak temanya bertanya, tapi engan memaksa, iapun sendiri membawa rintihan derita teman-temanya, dust teriak seakan hatinyapun sudah berlumur darah-darah hitam, “Hujan apa kau punya hati? Senang kah kau menghujat kami?” tak diundang lewat kata akan tetapi menyahut membela, petir membela dengan angkara “ini temanku apa yang kau mau?” ribuan bukit daun-daun rimba jadi saksi atas marahnya, hujan pun akhirnya bersua, “dust apa yang kau maksud ga punya hati, apa yang kau maksud menghujat? ”, tanpa rasa kemunafikan dust semakin keraskan teriakan, menghantarkan suara di telinga-telinga pada kawanan hujan, “kami sedang tertawa, kami sedang bermain, menari dipadang-padang gersang dengan lampu-lampu istana, kenapa kau hantam semua temanku hingga berjatuhan, apa salah langkah kami?, sejenak hujan terdiam dan mengambil nafas melihat mata dust yang penuh dengan api, semakin membiru hari itu sebab matahari mulai bertepi di sudut-sudut hunian sepi, hujan pun sengaja berhenti jalankan kewajibanya, dialog hujan menjawab dengan sinar hijau rimbunan daun-daun anggur pesisir, “dust dengarkan, bukan kami menghujat, kami enggan sakiti, kami jalankan apa yang harus aku jalankan, tanggungjawab kami pikul selagi detik masih berjalan, haruskah aku langgar perintah, tidak dust, aku juga saudaramu, disepinya gunung, dipanasnya padang, di lembaran laut, kami turun dengan penuh harapan, harapan seribu tujuan, aku tidak akan sakiti hati siapapun selama mereka yang punya pikiran menjaga rumah-rumahmu, aku turun hanya menyapa saudara-saudaraku seperti kalian, ingin harapan jadi kenyataan, mari beri senyuman, agar mereka-mereka tak lagi bertanya, untuk apa kita, bantu hias dengan bunga, hidangkan makanan kaya, semua pasti tak kenal kata luka”, bukit itu menjadi berwarna, kupu-kupu terbang dengan semangatnya, dust pun berfikir, maaf saudara, seteguk airmu sudah dinginkan suasana, aku hanya orang bodoh tak tau akan kemana, hanya tunggu jawab bergantung pada masa.
