Terasa lama
ku tak sapa saudaraku, karena tubuh ini masih rentan beranjak dari ranjang,
lihat angin dimusim semi, aku terjatuh seperti daun kering di rimba kala, aku
tergerus seperti pasir digurun, aku terpendam seperti batu digunung, hingga aku
tak punya nyali, samasekali buka mata. Gemuruh itu masih lantunkan nada hingga
terdengar dikerongkongan, sebab telingaku
tertutup bunga mawar yang siap tumbuh dengan durinya, ini masih terlalu
pagi kataku, tapi terlambat kau bersua kata mereka, aku sudah melalang bak
belalang kitari alam, kau masih terlelap dengan dengkurmu. Sudahlah, sudah
berlalu, sebenarnya aku ingin pergi memandang hijau sawah dan jernih air, pergi
kegunung memetik cerita, dan turun kemudian ku bercerita, mungkin terasa bodoh,
tapi itu terdengar menarik dipikiran, hanya pikiran tanpa jejak yang kulakukan.
Masih terdiam aku di ranjang tua, berhayal entah kemana, seperti disibukkan
dengan celoteh suara luar, kadang bicara, kadang meronta, kadang berdahak, dan
kadang senyap ditelan suara lainya, pastinya kau tau apa yang ku jalani,
setidaknya tau apa yang sudah aku lalui, hingga lalai akan waktu yang
tergenggam di jari-jari hingga jari kaki, diparuh waktu itu aku berbagi, sebab,
berbondong-bondong rombongan para perayu memeluk dan mencium pikiran, terbawa
aku dibualan berlajur kata rentan dan terdiam.
