Kepulan asap ini masih temani di lereng malam, bahkan hingga fajar tiba, seandainya mata ini masih sadar akan cerita dibalik keajaiban Tuhan, mungkin mulut inipun akan ikut terbawa, fikirkupun tak tau mau langkahkan kemana, sejenak saja kubuka butiran-butiran kata diraut muka buku tua, seperti aku teringat akan masa dimana aku mencari siapa diri dibalik selimut lusuh ini, berkacaku pada teman, ah aku bukan mereka, ia bisa lain waktu aku bisa, aliran sungai-sungai gangga jadi simbol bangsa hindipun ikut menjawab teka teki dibalik sucinya hati, batupun jadi poros bagi bangsa bangsa nabi.
setapak krikil terjalpun aku lewati walau berdarah nanti, aku tak memaksa mawar melepas durinya hingga ku genggam, tapi duri durianlah yang masih aku pegang, sadar apa hanya bayangan saja yang terasa, tapi kelopak mata ini masih seperti tersiram air terjun dipulau pedalaman, yang setiap waktu masih waspada akan bahaya.
Hingga fajar nanti aku tetap waspada, biarkan darah dan sel yang berbicara nantinya mau jadi apa, kembali jadi debu, terserah kata Ia, aku hanya lewati jembatan jalan dan air dengan hembusan udara, kapan berhenti itu semua misteri. setidanya aku jalani mengalir adanya.
setapak krikil terjalpun aku lewati walau berdarah nanti, aku tak memaksa mawar melepas durinya hingga ku genggam, tapi duri durianlah yang masih aku pegang, sadar apa hanya bayangan saja yang terasa, tapi kelopak mata ini masih seperti tersiram air terjun dipulau pedalaman, yang setiap waktu masih waspada akan bahaya.
Hingga fajar nanti aku tetap waspada, biarkan darah dan sel yang berbicara nantinya mau jadi apa, kembali jadi debu, terserah kata Ia, aku hanya lewati jembatan jalan dan air dengan hembusan udara, kapan berhenti itu semua misteri. setidanya aku jalani mengalir adanya.
