Tuan Dengarkan Saja


Tuan ini hanya omongan budak, kurang lebih seperti itu, adakah rasa untuk hiraukan atau ucapan ini hanya sekedar bualan, disamping pintu itu aku duduk menunggu jawaban dari mulut emasmu, yang seakan akan jadi jawaban dari semua bebanku, namun musim itu bercerita perihal lain, ucapan yang sengaja ku tunggu dengan keringatku masih mengalir dijanggutku, ku hanya bisa bergumam, nadamupun tak keluar satupun.
Tuan aku sengaja mungkin dengan sengaja mencoba berbicara tentang nasib yang tertempuh dengan kaku, seperti aku hilang ditepal batas, terhempas di ujung tanduk dan tak ada makna, sesekali aku minta sebenarnya adakah hal yang ringankan beban ini, adakah nalurimu berkata agar kau buka kunci rantaiku ini, adakah kau bawa sesuap nasi untukku ini, apa kau hanya diam saksikan punggungku hitam legam termakan panas matahari.
Tuan raut mukaku semakin mengkerut, apa aku akan mati disini tanpa pembebasan, aku hanya melihat mentari tenggelam tanpa terbit, jalan gelap yang selalu jadi dayung, berilah lampu –lampu pijarmu yang termurah, aku akan buat penerang jalan.
Tuan aku minta maaf, kalau seakan-akan aku buat kecewa seluruh isi bumi, aku bercerita dengan alam yang sudah aku lalui, dan aku ucapkan pamit detik ini, entah kau buat aku luka atau buat aku tertawa, aku akan langkahkan kakiku dijalan yang sudah aku pilih. Itu surgaku, itu surgaku itu bukan surgamu.
Tuan dengarlah omongan serapahku sebenarnya aku benci kau dari dulu, tapi waktu berbicara lain, ada hal yang tarik aku kesini, oleh karena itu aku ikuti suarah hati, namun sekarang berbisik aku harus pergi.
Tuan seribu kali aku mohon maaf, semua lafal yang tak terbaca hanya buang waktumu saja, sengaja aku hidup dengan sungai-sungai agar arusnya tertuju diujung jalan, ditambah hujan akan ketumu lautan.
Tuan aku pergi.

This entry was posted on Thursday, April 5, 2012 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Comments
0 Comments

Page View

Powered by Blogger.