Tuan
ini hanya omongan budak, kurang lebih seperti itu, adakah rasa untuk hiraukan
atau ucapan ini hanya sekedar bualan, disamping pintu itu aku duduk menunggu
jawaban dari mulut emasmu, yang seakan akan jadi jawaban dari semua bebanku,
namun musim itu bercerita perihal lain, ucapan yang sengaja ku tunggu dengan
keringatku masih mengalir dijanggutku, ku hanya bisa bergumam, nadamupun tak
keluar satupun.
Tuan
aku sengaja mungkin dengan sengaja mencoba berbicara tentang nasib yang
tertempuh dengan kaku, seperti aku hilang ditepal batas, terhempas di ujung
tanduk dan tak ada makna, sesekali aku minta sebenarnya adakah hal yang
ringankan beban ini, adakah nalurimu berkata agar kau buka kunci rantaiku ini,
adakah kau bawa sesuap nasi untukku ini, apa kau hanya diam saksikan punggungku
hitam legam termakan panas matahari.
Tuan
raut mukaku semakin mengkerut, apa aku akan mati disini tanpa pembebasan, aku
hanya melihat mentari tenggelam tanpa terbit, jalan gelap yang selalu jadi
dayung, berilah lampu –lampu pijarmu yang termurah, aku akan buat penerang
jalan.
Tuan
aku minta maaf, kalau seakan-akan aku buat kecewa seluruh isi bumi, aku
bercerita dengan alam yang sudah aku lalui, dan aku ucapkan pamit detik ini,
entah kau buat aku luka atau buat aku tertawa, aku akan langkahkan kakiku
dijalan yang sudah aku pilih. Itu surgaku, itu surgaku itu bukan surgamu.
Tuan
dengarlah omongan serapahku sebenarnya aku benci kau dari dulu, tapi waktu
berbicara lain, ada hal yang tarik aku kesini, oleh karena itu aku ikuti suarah
hati, namun sekarang berbisik aku harus pergi.
Tuan
seribu kali aku mohon maaf, semua lafal yang tak terbaca hanya buang waktumu
saja, sengaja aku hidup dengan sungai-sungai agar arusnya tertuju diujung
jalan, ditambah hujan akan ketumu lautan.
Tuan
aku pergi.
