Kado Sulas


Sore itu rumah sepi dan tampak redup, hanya satu lampu menyala kekuning-kuningan dipojok timur dekat tiang tepat disamping almari. Hujan yang dari tadi siang tak ada tanda untuk berhenti, hingga baju kesukaan Mukhtar  sedikit masih basah, ia pun mengurungkan niatnya untuk memakainya diacara kondangan mantan pacarnya yang selama dua tahun lebih seminggu. Padahal ba’da magrib nanti ia dijemput tetangganya yang mau ikut kondangan juga, mewakili bapak ibunya yang sudah tua. Mukhtar segera beranjak dari tempat duduknya, mengambil handuk dan sabun, sikat gigi beserta pastanya terbungkus plastik yang digantung ditiang dekat jendela kamarnya, belum
sampai jading terdengar orang ketok-ketok pintu rumah yang sengaja diganjal kayu agar tidak terkena angin.
“Tar muktar, jadi berangkat gak? Ini aku Seno”
Seno tetangga mukhtar yang sejak kecil jadi sahabatnya, kadang masih meluangkan waktunya berburu jangkrik disawah sebagai pengingat masa lalu yang sekaligus hobby mereka sejak dulu, sejak Seno pulang dari perantauan dikalimantan berkerja sebagai buruh pabrik, Seno jarang hampir tidak pernah mengajak Mukhtar berburu lagi. Seno menunggu Muktar sambil duduk dikursi panjang depan rumahnya, kursi kayu yang terbuat dari kayu randu itu sudah mulai dimakan rayap diujung-ujung kakinya, dulunya sering dikasih minyak tanah biar awet, akan tetapi dengan kesibukan Mukhtar yang berkerja mulai pagi sampai sore, perkara sepele itu dilupakan begitu saja. Mukhtar belum keluar juga, hingga Seno mengetuk pintu kedua kalinya, “Tar,!? Ini aku Seno, cepetan keburu malam nanti !” Muktarpun tak ada jawaban.
Terdengar dari dalam rumah sandal Muktar yang menyeret lantai membuat Seno lega, karena Mukhtar bergegas membuka pintu.
“lama skali dirimu, ngapain aja ?”
“masih ngambil baju diteras belakang rumah, sabar lah”
“ya sudah, monggo brangkat kalo gitu”
Sepeda tua warisan kakek seno itu masih menjadi sepeda kesayanganya, walaupun ujung sedelnya sudah mulai pudar , bel sepeda yang dulunya nyaring sekarang sudah mati tak berbunyi  sebab karatan beberapa bulan yang lalu. Namun bagi Seno sepeda itu adalah barang antik dan istimewa. Hujan sudah mulai reda, mereka berangkat ketempat resepsi Sulastri yang rumahnya lumayan jauh dari rumah mereka berdua, tetangga kampung melewati sawah dan menyebrang sungai yang jadi pembatas kedua desa. Terasa dingin, daun yang tadi siang masih kering sekarang jadi basah dengan sisa embun bekas hujan sore, jalan yang tadinya enak dilalui sepeda sekarang jadi sulit sebab becek dan licin, tapi niat mereka sudah diujung ubun-ubun, mau gak mau ya harus sampai diacara resepsi. Seratus meter dari rumah Mukhtar terlalui, duaratus meter dari rumah muktar, tiba-tiba Muktar turun dan berlari kembali pulang, tersentak Seno kaget hampir saja terjatuh dari sepedanya, namun mukhtar berlari begitu saja tanpa peduli.
“Woi,,kemana lagi?!”
“Sebantar no, ada yang ketinggalan”
“Woo..monyet, dasar…Cepetan?!”
“iya” sambil berlari Muktar menjawab, tampak Seno kesal dengan kelakuan Muktar yang sering membuatnya menunggu setiap ada acara penting. 15 menit Seno menunggu Muktar belum juga muncul,dia mulai kesal, berniat meninggalkan Muktar , baru naik dari sepeda tuanya Muktar teriak dari kegelapan, disorot lampu pinggir jalan yang terlihat redup cahanya pudar karena embun.
“Tunggu aku no !”
“Argg,,lemot pol dirimu”
Muktar balas dengan senyum keringat dijidatnya keluar, ngos-ngosan akibat lari, bajunya yang gak begitu kering disetrika alakadarnya ditambah lagi keringat basah dibagian ketiak, hm,,lengkap sudah baunya sampai mampir pantai selatan. Terlihat ia membawa kotak, Seno tak tau apa isi kotak itu, tapi dilihat dari sampulnya itu adalah kado buat pengantin, tebakan Seno begitu, anggap berlalu dan sedikit tak peduli dengan kesalnya Seno mengayuh sepeda dengan kencangnya agar Muktar tak turun lagi, tapi Muktar dengan santainya menahan helaan nafas karena berlari.
Sampainya mereka dirumah sulas, itu panggilan akrabnya, nama aslinya Sulastri, kerumunan tetangga berdatangan, acara resepsi serba meriah, maklum Sulastri adalah anak RW dan masih kerabat dengan lurah didesannya. Bagi kelas orang kampung acara itu sudah begitu waw banget, mulai dari rangginan sampai krupuk udang,  dari es podeng sampai es cendol ada semua, dihibur musik ala jawa campursari dengan sinden tampak beken dengan centilnya melantunkan tembang jawa, mix pengeras suara yang barangnya sudah tidak update pada zaman ini saja masih saja dipake, begitu istimewa. Muktar dan Seno masuk dikerumunan tamu undangan yang lagi mencicipi hidangan yang disediakan, tapi Muktar tengok sana-sini, acara temu manten sudahkah dimulai atau bahkan sudah selesai, dia bertanya pada salah satu tamu undangan,
“kok pengantinya gak ada kemana ya?”
“pengantinya lagi ganti baju mas”
“ow,,gitu ya,matur suwun pak”
Muktar kembali meminum es cendol yang dari tadi ada ditanganya, Seno yang diam saja gak mengambil minuman yang disediakan karena takut pileknya kambuh lagi, musim hujan minum es pantangan bagi Seno. Pengantin mulai keluar dari kamarnya dan menuju pelaminan setelah ganti baju,Muktar melihat tanpa memperdulikan es nya  tumpah dibaju. Sulastri begitu cantik sekali bagi Muktar, didalam hatinya masih menyimpan cintanya, namun ia sadar ia dari keluarga yang alakadar dari segi ekonomi, mencoba mengiklaskan dan biarkan cerita masa lalu jadi kenangan. Tamu mulai ada yang berpamitan, begitupun Muktar bergegas mengambil kotak kado, memberikan kesulastri dan pergi, Seno yang baru menikmati teh panas ditariknya untuk berpamitan, seno cukup bingung dibuatnya, tapi tak berhak marah-marah ditempat keramaian seperti resepsi, kurang sopan. Merekapun berpamitan, Muktar bersalaman dengan Sulastri dan memberikan kado yang dibungkusnya waktu hujan disore tadi masih derasnya. Sulastri memandang Muktar, tangannya bergetar , Muktar  berbisik  Barakallahulak ya ukhti, Sulastripun teteskan airmatanya yang tak tertahan. Muktar berlalu begitu saja dihadapa Sulastri, seno mengejar Muktar yang menunduk tak berdaya kekasih yang dicintai dinikahi orang lain. Mereka berdua pulang, Seno mencoba mencairkan suasana,
“hey,,tar, tadi yang kau kasih itu ke Sulastri itu Kado ya?”
“ya mestilah, masa Bom”
“ngomong-ngomong kadonya apa tar? ”
“Kado sangat Istimewa”
“laiya Istimewa itu apa?kasih tau lah temen sendiri ini aja”
“isinya Telur asin seno”
“Asu kowe,,!”
 Dalam diri Muktar itu memang benar telur asin, sebab itu menjadi kenangan saat Muktar dan Sulastri berbagi telur asin dipinggir sungai, setahun dimana mereka berdua saling mencintai. 



15/01/13

This entry was posted on Tuesday, January 15, 2013 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Comments
0 Comments

Page View

Powered by Blogger.