Ayam
jago sudah berkokok dipojokan rumah, dekat gudang bekas rongsokan becak yang
dulu jadi senjata mencari kerja Srenge, becak hasil menjual satu-satunya
kambing yang ia punya, setelah becaknya mulai rusak, diapun bingung untuk
memperbaikinya, sebab buat makan aja terasa susah, semenjak itu Srenge hanya
bemalas-malasan seperti tak ada pekerjaan lainya. Memang seperti itu, semua
habis terjual karena bapaknya dulu suka main togel, sehingga menjual seisi
rumah, setelah itu minggat tak ada kabar selama beberapa tahun terakhir ini.
Srengepun seperti tak ada jalan keluar lagi untuk memikirkan pekerjaan, otaknya
buntu, mau ngutang takut susah mengembalikan, sudahlah biar mengalir apa adanya
benaknya.
Tepi
jalan berlumpur, pagar kayu randu kapas yang sudah mulai berlumut, dipertigaan
jalan, tumbuh pohon beringin puluhan tahun, akarnya menjalar, terlihat teduh
dan rimbun, seratus meter dari rumah Srenge, tempat itu yang menjadi tempat
kesukaannya sembari melepas penat bersama temanya Karto, hanya Karto yang jadi
pendengar setianya sehari-hari. Karena pada bedug siang Karto juga sering
ngadem dibawah pohon itu setelah mencari kayu bakar dihutan.
‘Aku ini dendam sama
bapakku To’. Karto tetangga yang tidak jauh dari tempat tinggalnya, jadi luapan
kegelisahan Srenge yang saat itu mulai bosan dengan keadaan.
“Ya jangan gitulah,
begitu itu juga bapakmu” Karto mencoba memberi nasehat, entah didengar Srenge
atau enggak. Karto mencoba bersabar, sebab setiap Srenge ngomong pasti diawali
dengan kata-kata dendam kesumat itu. Diam beberapa menit, menghisap rokok
sedalam-dalamnya dan tersenyum ke Karto.
Kemudian pergi begitu saja.
Bedug
siang kayaknya sudah lewat, Karto tidak sadar saking seriusnya mencari patahan
kayu dihutan, waktu itu karena ada larangan menebang kayu sembarangan, dan
Karto orang yang takut akan aturan pemerintah, mau gak mau dia harus
menaatinya, kadangkala kalau sudah kepepet diapun menebang satu kayu, seperti
hidup Karyo hanya ditentukan banyaknya ranting yang didapat, kayu itu menjadi
bakal buat makan keluarganya dirumah dijual di tempat penggilingan. Hutan
semakin jarang adanya kayu yang cocok untuk bahan bakar, dia harus masuk lebih
dalam, tentunya pulangpun semakin lama.
Mampir ia ditempat
biasa, dibawah pohon rindang beringin,
namun saat itu ia tidak bersama Srenge, mungkin karena telat pulang dari hutan,
dan Srengepun pulang. Besoknya iapun berangkat pagi-pagi ke hutan agar siangnya
bisa ngobrol sama Srenge. Akan tetapi seperti hari kemarin, ia tak ketemu
dengan Srenge, sudah beberapa minggu Karto berangkat pagi dan ketempat biasanya
Srenge pasti gak ada. Karto mulai bertanya-tanya, ada apa dengan Srenge.
Keesokan harinya Karto
pergi kerumah Srenge, rumahnya gelap, tampak sampah berserakan, semua
berantakan, Karto mencari sampai belakang rumah, hasilnya sia-sia. Karto mulai
bingung kemana Srenge, otaknya dipenuhi tanda tanya, apa dia minggat? Apa dia
mau balas dendam cari bapaknya? Apa dia gila lalu hilang? Setiap hari Karto
memikirkan Srenge.
Sehari, Seminggu,
Sebulan sampai beberapa tahun genap hutan yang dulunya jadi tempat cari nafkah
karto ditebang habis oleh pemerintah, dari info yang masuk mau dibangun vila
atau apalah. Karto bingung bukan kepalang, keluarganya mau makan apa, sehari
penuh belum punya uang buat beli beras, Karto pergi ke tempat pohon beringin,
mencoba menenangkan fikiran, dia memikirkan nasib keluarganya, memikirkan
Srenge, juga memikirkan hutan. Hari itu terasa gelap.
“Kamu kok masih suka
disini To” Karto tersentak kaget, orang sebaya memakai baju kotak-kotak warna
keabu-abuan, jam karet ditangan, kumis tipis, rambut tersisir rapi dan
sepatupun mengkilap. Seperti juragan beras, kayaknya orang kaya, pikir karto
“Sampeyan siapa?” tanya
Karto
“Masa lupa?” Karto hanya
terdiam dan penuh tanda tanya
“Srenge To aku Srenge”
Tersentak Karto kaget. Keringatnya mengalir dijidat, dengan tangan gemetar.
Saking kagetnya dia tersendak-sendak matanya berkaca-kaca.
“Kamu Srenge, Kamu
Srenge” sambil memeluk taman yang sudah beberapa tahun tidak dijumpainya.
Srenge hanya tersenyum
ramah dan mengelus pundak karto, “Sudah-sudah mari duduk dan becakap” kata
Srenge.
Merekapun duduk berdua
sambil menikmati rokok berkelas yang dibawa Srenge.
“Kamu berubah dulur,
kamu berubah, kamu jadi orang hebat” seperti gak percaya dengan keadaan itu.
“Ya gini lo to,
Sebelumnya dulu saya minta maaf, pergi gak pamit kamu, waktu itu saya sudah
buntu, dan pergi merantau, berjalan terus dan terus sampai saya temukan ide merubah
hidup, singkatnya saya kerja serabutan, mengumpulkan uang, dan membeli barang
bekas, lalu kujual lagi, akhirnya saya seperti ini.” Dalam ingatan Srenge
teringat cerita emaknya “ kamu itu saya lahirkan ditengah sawah tepat matahari
diatas kepala, hanya beralas tikar dibantu dukun anak yang waktu itu lagi cari
rambanan buat kambingnya” Sebelum emak tiada ia berpesan sama dukun itu agar
lain waktu disampaikan ke saya, intinya “Namamu Srenge, jadilah orang yang
besar dengan keringatmu, seperti besarnya matahari yang selalu memberi tanda
pada zaman.” Makanya to saya berputar-putar kaya srengenge (matahari) mencari
kerja dengan keringat sendiri hingga merubah zaman saya yang dulu menjadi zaman
sekarang.
Bener cangkemu le.!
Teriak karto sambil terbahak.

